Lomba Menulis Surat Pos Indonesia 2016 #1Sepenggal kisah tentang pengiriman surat
Pertengahan Januari lalu,
salah satu teman yang kebetulan satu organisasi denganku memberi tahuku bahwa
ada lomba menulis surat yang diadakan oleh kantor pos Indonesia dengan tema “Generasiku
Melawan Korupsi”. 30 finalis dengan karya terbaik akan mengikuti pelatihan
menulis bersama 3 penulis kondang kebanggaan Indonesia di Kota Bandung, serta mendapatkan
total hadiah sebesar 80 juta rupiyah.
Aku sangat
tertarik untuk mengikuti lomba menulis itu. Selain karena jumlah hadiahnya yang
tidak sedikit, lomba ini merupakan kesempatan bagiku untuk bisa bertemu dengan
novelis favoritku, Tere-Liye. Walaupun aku sudah pernah mengikuti workshop kepenulisannya
dua kali, aku tetap tertarik untuk bertemu dengannya. Selain itu aku juga belum
pernah safar ke kota yang pernah diselimuti lautan api tersebut,
sehingga aku menjadi semakin semangat untuk mengikuti lomba ini.
Tapi inilah aku.
Jika belum mendekati deadline perlombaan, aku akan bersantai ria seolah tidak
ada yang harus aku kerjakan. Jadilah aku baru menulis surat itu ketika hari
terakhir pengiriman surat, 11 Februari 2016. Hari itu aku tidak masuk sekolah,
karena aku masih membutuhkan istirahat setelah empat hari yang lalu badanku
terserang demam dan flu.
Hari ini adalah
minggu perpulangan (sebagai anak asrama, aku dan teman-temanku diperbolehkan
untuk kembali ke kota masing-masing). Siang nanti aku berencana untuk pulang ke
rumah bersama dengan dua adik kelasku, sekaligus mampir ke kantor pos untuk
mengirimkan surat yang telah aku buat. Pukul 08.00 aku mulai menggoreskan
tinta, menuliskan apa saja yang ada dipikiranku. Aku tak memiliki perencanaan
ide sebelumnya. Beberapa hal yang terlintas di otakku segera aku tuliskan dan
aku sambung-sambungkan. Sesekali setelah aku menuliskan beberapa kalimat, aku
membacanya dari awal untuk memastikan tidak ada kata yang mengganjal dari
kalimatku. Beberapa kali aku juga sempat membuka-buka buku notes-ku
untuk mendapatkan inspirasi kata. Ketika otakku tersumpal seolah tak bisa
mencurahkan ide lagi, aku diam sejenak, lalu mulai melanjutkan. Akhirnya aku
berhasil mencapai titik terakhir pada pukul 11.00. Aku merasa lega telah
menamatkan karyaku ini. Sembari mencari amplop, aku berdo’a dengan penuh keyakinan
bahwa karyaku ini akan membawaku ke Kota Bandung. Sebelum aku berkemas untuk
pulang ke rumah, aku membaca surat itu untuk kesekian kalinya. Tulisan itu
masih berada dalam buku coretanku. Setelah teman-temanku kembali ke asrama, aku
akan membeli kertas folio bergaris untuk kemudian menyalinnya.
Pukul 11.45 aku
menuju sekolah untuk menyalin karyaku ini, sembari menunggu adik kelasku. Waktu
telah menunjukkan pukul 13.00 dan aku tak kunjung selesai menyalin surat ini.
Aku menyuruh adik kelasku untuk pulang mendahuluiku. Awalnya mereka menolaknya.
Tapi akhirnya mereka meng-iya-kan. Ketika aku tengah menyalin surat, salah satu
guru menghampiriku. “Za, apa yang sedang kamu tulis”, tanyanya dengan logat
jawa. “Ini us, surat untuk kantor pos”, jawabku singkat. Us atau ustadzah adalah
panggilan “bu” dalam bahasa arab. “Lah, kemarin ustadzah dapat dua
surat. Kayaknya suratnya dibalikin sama kantor posnya” jelas ustadzah kepadaku.
Seketika aku langsung kaget. Banyak pertanyaan yang muncul diotakku. Apakah
mereka salah mencantumkan alamat? Atau jangan-jangan kuota pengiriman telah
penuh, sehingga surat yang datang akhir-akhir ini ditolak? Aaaa.. aku berteriak
di dalam hati, seolah-olah harapanku untuk pergi ke Kota bandung telah pupus.
“Nanti kamu susul ustadzah ke kantor ya, Za. Ustadzah carikan
dulu suratnya” lanjut ustadzah. “Ya, us, nanti saya kirimkan surat yang
dikembalikan ke sekolah, bersama surat saya” jawabku dengan penuh keyakinan
bahwa surat ini masih boleh dikirimkan.
Setelah aku
selesai menyalin surat ini, aku segera menuju lantai dua gedung sekolah untuk
menemui ustadzah-ku tadi. Ketika aku hendak menemuinya, tiba-tiba salah
seorang Abi (panggilan untuk guru laki-laki) memanggilku, “Nak, kamu
bisa membetulkan ini?” Tanya Abi sembari menunjukkan layar komputernya. Abi
menyuruhku menata data pada komputer yang terlihat berantakan sekaligus
mengetikkan beberapa tulisan. Berhubung aku pernah menjabat sebagai sekretaris
bidang dalam salah satu organisasi di sekolahku, aku segera menuruti perintah Abi.
Padahal waktu telah menunjukkan pukul 13.45. Itu artinya aku baru akan
sampai ke rumah pukul 16.00, karena perjalanan dari sekolah ke rumahku
membutuhkan waktu kurang lebih selama dua jam perjalanan. Setelah selesai
membantu Abi, aku segera mengambil dua surat di meja ustadzah-ku.
Pukul 14.20 aku
mulai berlari menuju kantor pos dengan ditemani percikan air hujan. Setelah
mengantri cukup lama, akhirnya giliranku ke loket pengirimanpun tiba. Aku
memberikan tiga amplop kepada petugas loket tersebut, sembari menjelaskan
perihal dua surat yang dikembalikan ke sekolah. Tiba-tiba aku melontarkan
kalimat “Apa mungkin kurir pos malah mengantarkan ke alamat pengirim ya, mbak?
Soalnya teman saya menuliskan alamat pengirim dan alamat yang dituju dalam satu
muka amplop. Mana lebih besar tulisan alamat pengirimnya lagi” terangku kepada
petugas loket. Petugas itu meng-iya-kan kalimatku. Aku pikir loket pengiriman
melayani pembelian perangko, namun ternyata
tidak. Alhasil aku harus membeli perangko terlebih dahulu di loket
khusus perangko baru kemudian menyerahkannya kembali ke loket pengiriman.
Setelah urusan
dengan kantor pos selesai, aku segera menuggu di pinggir jalan untuk menyetop
bus. Dengan menundukkan kepala, aku berdoa di dalam hati, Ya Allah, Engkau
Maha Pemurah, lagi Maha Adil, tunjukanlah hamba kekuasaan-Mu, dengan Engkau
beri jalan kepada hamba melalui lomba surat ini, Amin. Setelah itu aku
menenangkan diriku dan menikmati perjalanan ke kota kelahiranku, Gunungkidul.
Komentar